Beranda Uncategorized pergolakan Filsafat Islam (1)

pergolakan Filsafat Islam (1)

761
0

Tradisi ilmiah ke Islam sejak permulaan menempuh dua jalan yang berbeda. Pertama, melalui jalan salaf sebagaimana yang paling banyak di anut dianut oleh mayoritas muslim di belahan manapun. Suatu cara pandang yang mengarah pada pembangunan dan pengembangan ilmu bayani, seperti filologi sejarah dan llmu fiqh.

Kedua, jalan non-salaf, sebab jalan ini telah dipengaruhi ataupun terpengaruh oleh kebudayaan Yunani, Syiria, dan Persia. Jalan ini cenderung condong kepada suatu pengembangan bidang ilmu seperti filsafat, matematika, astronomi, astrologi, fisika, dan lain sebagainya.

Ke-dua tradisi seperti ini masih dapat berkembang secara seimbang pada saat masa kekuasaan Bani Umayyah sampai masa Bani Abasiah awal. Dalam bidang salaf memunculkan tokoh seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-796 M), As-Syafi’i (767-820 M), dan Ibn Hanbal (780-855 M).

sedangkan jalur keilmuan melalui non-salaf telah melahirkan tokoh seperti Ibn Hayyan &21-815 M) dalam bidang kimia, Al-Khwarizmi (780-850 M) dalam bidang matematika. Namun seiring pergantian kekuasaan, sejak masa kekuasaan Al-Makmun (813-833 M) melakukan usaha penerjemahan secara besar-besaran terhadap buku ilmiah dan filsafat, sehingga jalan tradisi keilmuan yang kedua ini menjadi lebih dominan dibandingkan dengan jalur salaf.

Ilmu pengetahuan dan filsafat yang mendapat transformasi baru dari alam pikir Yunani mengalami perkembangan yang luar biasa dan mencapai titik ketinggian yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya.

Tradisi filsafat dalam Islam mengalami perkembangan pertama kali diperkenalkan oleh Al-Kindi (806-875 M). dalam bukunya al-Falsafah al-Ula yang dipersembahkan kepada khalifah Al-Mu’tasim (833-842 M), Al-Kindi menulis tentang objek kajian dan kedudukan filsafat. Namun hal ini tidak begitu popular karena masih minimnya referensi filsafat yang telah diterjemahkan dan juga masih dominannya kaum fuqoha pada masa itu.

Meskipun demikian Al-Kindi telah menawarkan dan memunculkan tradisi baru dalam pemikiran Islam dan mewariskan persoalan-persoalan tersebut hingga sekarang ini. Di antaranya tentang penciptaan semesta, terkait bagaimana prosesnya, kebadian jiwa (bagaimana pembuktiannya), pengetahuan Tuhan teradap yang particular, terkait bagaimana penjelasan dan apakah ada hubungannya dengan bintang-bintang yang saat itu menjadi kajian penting metafisika.

Sepeninggalan Al-Kindi perkembangan rasionalitas filsafat menjadi semakin berkembang, kemudian lahirlah Al-Razi (865-925 M) seorang tokoh yang dikenal sebagai ekstrimis dalam teologi dan dikenal juga sebagai rasionalis murni yang hanya mempercayai akal. Salah satu buah pemikirannya yang terkenal ialah pandangannya tentang akal.

Hakikat manusia adalah akal, dan akal pula satu-satunya alat yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik, tentang baik dan buruk. Bahwa sumber pengetahuan selain akal hanyalah omong kosong.

Dalam sejarah tercatat bahwa perkembangan filsafat yang begitu pesat terjadi atas dukungan khalifah masa Bani Abbasiah (750-1258 M) khususnya pada masa Al-Ma’mun (811-833 M), selanjutnya pada masa Al-Mutawakil (847-861 M) sedikit mengalami hambatan. Hambatan ini terjadi karena adanya pertentangan para kalangan salaf seperti Ibn Hanbal (salah satu imam madzhab empat), dan juga orang-orang yang sepemahaman dengannya. Mereka beragumentasi tanpa kompromi terhadap filsafat.

Dari beberapa sumber menyatakan bahwa pertentangan kaum salaf disebabkan beberapa hal:
Pertama, ketakutan para salaf bahwa adanya filsafat dapat menyebabkan berkurangnya rasa hormat para muslim terhadap Islam sendiri.

Kedua, adanya pernyataan bahwa mayoritas dari mereka yang menerjemahkan ataupun mempelajari filsafat Yunani adalah dari kalangan non-muslim, seperti penganut Manicheanisme, orang-orang Sabia, dan sarjana muslim penganut mazhab Batiniyah yang esoteris. Hal itu semua telah memunculkan kecurigaan atas segala aktivitas intrelektual dan perenungan yang, mereka lakukan.

Ketiga, bertujuan untuk menyelamatkan ataupun melindungi kaum muslim dari pengaruh Manicheanisme Persia khususnya dan paham lain yang dinilai tidak sejalan dengan ajaran-ajaran Islam yang ditimbulkan dari pemikiran filosofis.

Kecurigaan kaum salaf nyatanya terbukti, yakni dengan adanya tokoh-tokoh yang tak terbilang sedikit, yang belajar filsafat namun akhirnya menyerang dan meragukan ajaran Islam itu sendiri. Salah satunya Ibn Rawandi(827-911 M) yang menolak konsep kenabian setelah belajar filsafat. Menurutnya bahwa konsep kenabian itu bertentangan dengan akal sehat, begitu dengan syariat-syariat yang dibawanya, karena semua itu telah mampu dicapai melalui akal. Akal mampu mencapai dan membedakan mana benar-salah baik dan jahat, begitu seterusnya.

Selanjutnya Al-Razi juga menolak kenabian dengan tiga alasan:

Pertama, bahwa akal juga telah , mampu membedakan baik dan buruk, berguna dan tidak berguna. Dengan akal manusia mampu mengenal Tuhan dan mampu mengatur kehidupannya sendiri dengan baik, sehingga tidak perlu lagi adanya seorang nabi.

Kedua, tidak adanya pembenaran ataupun pengistimewaan seseorang untuk membimbing orang yang lain, karena setiap orang lahir dalam keadaan memiliki kecerdasan yang sama, hanya saja dibedakan oleh pendidikan dan pengembangan mereka masing-masing.

Ketiga, menyatakan bahwa ajaran tiap nabi itu berbeda-beda. Dan seharusnya jika ia memang berbicara atas nama Tuhan seharusnya tidak ada suatu perbedaan di antara mereka.

Usaha penentangan para kaum salaf terhadap tradisi filsafat mencapai pada puncaknya dan menuai keberhasilan pada masa khalifah Al-Mutawakil. Munculnya khalifah dengan kebijakan yang condong kepada kaum salaf menyebabkan tradisi pemikiran filsafat terhambat. Para kaum salaf yang memiliki kedekatan dengan khalifah dan juga memiliki jabatan kekuasaan, mereka melakukan revolusi dengan cara bahwa mereka yang berfaham filsafat ataupun ahli filsafat dan orang-orang Mu’tazilah yang tidak sepaham dengan mereka akhirnya dipecat dan diganti dari kalangan salaf sendiri. Salah satu di antaranya ialah Al-Kindi seorang ahli filsafat yang dipecat dari jabatannya sebagai guru istana karena tidak sepaham dengan khalifah yang salaf.

Meskipun demikian dapat dicermati bahwa hambatan tersebut hanyalah terjadi pada lingkarang kekuasaan di Baghdad. Sedangkan diluarnya tradisi dan kajian-kajian filsafat terus berjalan sehingga melahirkan tokoh filsuf besar yaitu Al-Farabi (870-950 M), Al-Farabi merupakan tokoh yang berpengaruh terhadap sesudahnya baik dalam Islam sendiri maupun belahan Barat. Bukan hanya mengembangkan ilmu metafisika Islam tetapi juga membangun landasan perkembangan ilmu yang lebih umum.

Al-Farabi dalam pembahasan metafisika antara lain mengembangkan teori emanasi yang menggabungkan teori neo-platonisme dengan ketauhidan Islam untuk menjelaskan hubungan antara Tuhan Yang Maha Gaib dengan realitas empirik, Tuhan Yang Esa dengan realitas plural dan seterusnya hingga mempertemukan antara konsep Plato dengan idealismenya beserta emprisismenya Aristoteles, serta mempertemukan antara agama dan filsafat.

Al-farabi dalam karyanya Ihsha al-Ulum, membagi ilmu pengetahuan kedalam tiga kelompok: filsafat, ilmu keagamaan dan ilmu bahasa. Menurut Husein Nasr, klasifikasi ilmu seperti ini merupakan pengklasifikasian pertama dalam peradaban Islam yang paling berpengaruh, juga dipakai secara umum oleh kalangan ilmiah. Atas jasa inilah kemudian Al-Farabi diberi gelar sebagai guru kedua, dari tradisi filsafat Islam setelah Aristoteles.

Tradisi pemikiran Islam kemudian semakin bergema dalam pemikiran Arab-Islam pada masa Ibn Sina (980-1037 M) Ibn Sina muncul setelah Al-farabi dengan mengembangkan lebih lanjut gagasan emanasi dari Al-Farabi sendiri, yaitu menggabungkan antara Neoplatonisme Yunani, tauhid Islam, dan juga filsafat timur yang mistik dan simbol, sehingga kemudian melahirkan gagasan pemikiran yang khas.

Pada generasi selanjutnya gagasan seperti ini melahirkan tokoh Suhrawardi al-Maqtul (1153-1191 M) dengan emanasi yang lebih sempurna yang terkenal dengan filsafat Isyraqiyah. Ibnu Sina juga berusaha menggabungkan antara filsafat dengan wahyu dalam aspek makna dan fungsi. Karena menurutnya setiap aturan yang disyariatkan Islam itu memiliki hikmah dan kebaikan tertentu yang dapat mengantarkan pada terwujudnya cinta kasih (al-‘Isyq) pada keseluruhan realitas khususnya pada diri sendiri dan jiwa-jiwa tingkat tinggi.

Bersambung pada artikel selanjutnya………

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here