Dalam keagamaan maupun akademik siapa yang tak mengenal al-Ghazali seorang sosok berpengaruh dalam tradisi intelektual keislaman. Tindakannya dalam menyerang filsafat dianggap menjadi senjata yang paling mematikan bagi para filosof muslim sendiri, hal ini tercatat dalam sepanjang sejarah peradaban Islam. Sampai waktu detik ini belum ditemukan para pemikir yang mampu menandingi dan mematahkan dari argumen-argumen Al-Ghazali terhadap filsafat melalui karyanya Tahafut al-falasifah. Karya ini merupakan argumen yang berisi fatwa-fatwa pengharaman terhadap filsafat, ia telah berhasil mengurai pemikiran para filosof muslim yang dinilai terlalu jauh keluar dari lintas garis keislaman. Sebab menurutnya mereka tidak mampu membangun argumen tentang ketuhanan.
Sebagaimana yang telah tertuliskan dalam Tahafut al-Falasifah bahwa hal yang memotivasi dalam penyerangan ini adalah karena keangkuhan dan kesombongan mereka. Mereka dianggap sebagai manusia yang merasa paling istimewa dibandingkan dengan yang lainnya. Secara tidak sadar mereka juga merasa bahwa dirinya memiliki kecerdasan yang lebih sehingga berani mengabaikan tuntutan-tuntutan syariah yang mana syariah hanyalah berlaku bagi masyarakat biasa dan mereka memiliki aturan dan cara tersendiri dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Pola-pola yang diterapkan para filosof muslim menurut al-Ghazali tidak lain adalah akibat pengaruh dari pemikiran Yunani yang mereka adopsikan. Maka untuk menghancurkannya al-Ghazali terlebih dahulu harus mengkritik model pemikiran Aristoteles dimana dalam hal ini yang menjadi acuan pemikiran mereka membangun filsafat Islam. Namun tidak semuanya karya-karya Yunani mampu dijamah al-Ghazali, dan ketika ia mengalami kesulitan maka dicukupkan pada pemikiran Al-Farabi dan Ibnu Sina karena keduanya merupakan representasi pemikiran Aristoteles dan tak ada filosof muslim lainnya yang mampu memahami pemikiran Aristoteles dengan benar. Lebih dari itu mereka juga melakukan distorsi terhadap pemikiran Aristoteles, sehingga hal ini dianggap menjadi suatu hal yang tidak bisa dijadikan acuan untuk menjabarkan pemikiran Aristoteles. Dari sinilah bermula, bahwasannya al-Ghazali hanya menghancurkan pemikiran filosof tersebut dan bukan menghancurkan filsafat secara umum.
Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali berargumen bahwa kesalahan fatal dalam filsafat ialah dalam hal teori tentang ketuhanan. Dengan begitu mjusuh utamanya adalah filsafat ketuhanan. Ia berusaha menggali butir-butir kesalahan para filosof dari sisi teori kertuhanan tersebut. Ia mendapati dua puluh poin kerancuan dalam pemikiran para filosof, yang mana tiga di antaranya dapat mengantarkan pada kekafiran sedangkan yang lainnya adalah bid’ah. Point kefatalan tersebut ada pada keabadian alam, Tuhan tidak mengetahui perincian segala apa yang ada di alam, juga pengingkaran terhadap kebangkitan jasad kelak di akhirat.
Seperti yang kita ketahui bahwa hal demikian bertentangan dengan dalil-dalil agama. Padahal sudah jelas bahwasanya Tuhan telah memaparkan dengan pasti tentang adanya kebangkitan jasad di akhirat. Bagi Tuhan, membangkitkan jasad bukanlah suatu hal yang mustahil, Tuhan adalah sang maha kehendak yang berkehendak atas segalanya.
Selanjutnya setelah mengkritisi pemikiran filsafat dalam hal ketuhanan, ia juga berusaha untuk melemahkan semua objek kajian filsafat dan ia juga tidak menghendaki untuk merekonstruksi ulang, namun ia bekeinginan menghancurkan secara total. Tujuannya adalah untuk memudarkan kepercayaan masyarakat terhadap para filosof. Dan ia samasekali tidak mengakui pencapaian positif dalam pemikiran filsafat. Ia memandang bahwa semuanya bukan murni dari pemikiran para filosof. Kontribusi positif tersebut adalah ajaran dari para nabi dan rosul serta sufi yang diadopsi para filosof. Bahkan daalam logika, al-Ghazali juga tidak mengakui pemikiran mereka. Penalaran mereka disamakan dengan pemikiran para Mutakallimin. Hal yang membedakan keduanya hanyalah terletak pada terminologi bukan menyentuk soal esensi pengetahuan.